SEKATEN SEBAGAI SARANA DAKWAH ISLAM DI YOGYAKARTA
Pendahuluan
Perayaan sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan islam merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya islam ke bumi nusantara. Tradisi sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu, kulturisasi, religious, dan historis.
(Sultan,12 Mei 2004)
Sekaten yang menganut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan islam dalam membentuk akhlak dan budi luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwana I.(Soelarto,1996:19).
Dengan adanya dua pernyataan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nilai sekaten mmempunyai peran penting dalam dakwah islam, karena dalam menyebarkan suatu agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan adat tidaklah mudah, seperti apa yang terjadi pada negri ini di awal masuknya ajaran islam.
Hindu-Budha merupakan suatu kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia sebelum islam datang. Hal tersebut terbukti ketika kita mulai merunut kembali sejarah pada abad silam ketika agama atau kepercayaan mulai berkembang di Indonesia. Pada abad ke-4 hindu datang dengan segala kebudayaan dan ajarannya yang meninggalkan bukti sejarah berupa Candi Prambanan, Candi Tikus, dan candi-candi bercorak hindu lainnya.
Pada abad selanjutnya budha pun mulai masuk dan berkembang ke nusantara dan yang terakhir adalah islam. Islam datang dibawa oleh para pedagang Gujarat, Arab, dan Persi melalui berbagai cara seperti perdagangan atau perkawinan. Untuk mengenalkan islam yang datangnya setelah Hindu-Budha bukanlah suatu hal yang mudah.
Kiprah para wali (Penyebar Islam di Pulau Jawa) atau yang lebih dikenal dengan Walisanga sangat lah penting karena mereka memiliki siasat tersendiri untuk memperkenalkan islam kepada masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kepercayaan lamanya yaitu Hindu-Budha, ditambah dengan keadaan masyarakat jawa yang terkenal dengan sifatnya yang konservatif dan sulit menerima ajaran baru apalagi yang bertentangan dengan adat jawa.
Di awal berdirinya Keraton Yogyakarta Hadiningrat inilah para leluhur islam mengenalkan agamanya yang dimasukkan dalam budaya Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan sebutan Islam Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran islam itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa yaitu dengan diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap hari-hari besar agama islam. Seperti upacara adat yang terkenal di Yogyakarta adalah Upacara Sekaten.
Sekaten dilaksanakan guna memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten yang merupakan salah satu jalan dakwah islam mulai mengalami degradasi karena saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik local maupun interlokal.
Dari latar belakang di atas kita dapat mengambil rumusan masalah dan tujuan sebagai berikut:
1.Bagaimana sejarah sekaten dijadikan upacara adat Keraton Yogyakarta?
2.Prosesi apa saja yang dilakukan dalam upacara sekaten?
3.Adakah makna dan nilai religi, sejarah, dan budaya yang terkandung dalam setiap
ritual yang merupakan sarana dakwah islam?
Adapun tujuan dari pembuatan makalah yang berkenaan dengan sekaten ini diantaranya:
1.Menjelaskan sejarah sekaten sebagai upacara tradisi tahunan Keraton Yogyakarta.
2.Memberikan gambaran kepada pembaca prosesi ritual sekaten secara menyeluruh.
3.Memberi wawasan kepada pembaca agar bisa memaknai nilai-nilai religi, history, dan
kultur yang terkandung dalam sekaten, sehingga tidak hanya semata-mata mencari
hiburan.
Pembahasan
Salah satu sarana dakwah para wali dalam mengembangkan islam di ranah jawa ini adalah dengan sekaten. Sekilas mendengar nama sekaten sama sekali tidak mengisyaratkan suatu ritual yang berbau islam. Akan tetapi sekaten sebenarnya sarat makna dan mengandung nilai islami.
Istilah sekaten berasal dari bahasa arab yaituanlaa ilaa haillallah wa asyhadu anna Muhammadar rosulullah”, yang artinya Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya. Syahadat inilah yang menjadi syarat keislaman seseorang yang benar-benar ingin memeluk islam. Karena sekaten ini berkembang di jawa, maka syahadatain lebih mudah diucapkan oleh masyarakat jawa dengan sebutan sekaten.
Sekaten sendiri memiliki makna dalam bahasa jawa yang berarti sekati yang artinya adalah setimbang. Tentunya diharapkan agar manusia bisa menimbang hal yang baik dan yang buruk. Sehingga ketika kita menyebut kata sekaten kita selalu diingatkan agar selalu berhati-hati dalam menimbang suatu hal.
Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak pada abad 16. Saat itu orang jawa beralih memeluk Agama Islam dengan mengucap syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama sekaten pada perayaan itu sangat terkenal. Perayaan sekaten ini menjadi salah satu perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta sehingga menjadi perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.
Sejarah sekaten ini berawal dari Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Sala di bawah pimpinan Sri Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Pusaka keraton dibagi 2, seperti halnya gamelan Kasunanan Surakarta memperoleh gamelan Kyai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu. Supaya seimbang lalu dibuat perangkat gamelan lainnya yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawila, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam setiap perayaan sekaten dan menjadi alat music khas perayaan sekaten.
Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat Keraton Kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan menunjukkan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten juga ini tidak bisa terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan, tempat musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan sekaten yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulid.
Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalm waktu yang singkat, tetapi sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna. Di bawah ini adalah serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai penutup.
1) Perayaan Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau wilujengan yang memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti dimulali lah pembuatan gunungan. Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan pasar malam perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
2) Satu minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk diletakkan di pagongan utara dan pagongan selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali hari Jum’at.
3) Rangkaian upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan iringan gejog lesung yang dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai diberi sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
4) Acara selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem keraton, dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup Nabi Muhammad). Sebelum miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan pintu pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai pelaksanaan kondur gongsu atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit. Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan harinya.
5) Sebagai rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12 bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh penghulu dan kemudian gunungan menjadi rebutan masyarakat yang menonton.
Sekaten yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi, sejarah, dan kultur kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada lagi menjadi prioritas. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis terkait dengan tujuan awal para wali dan leluhur penggagas terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran agama islam.
Jika kita sedang menyaksikan upacara sekaten ada baiknya jika kita juga menyempatkan diri untuk menela’ah makna dan nilai-nilai religi, sejarah, dan kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya.
Ø Nilai Religi
Di dalam salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu utusan Allah yang diperntahkan sebagai rahmatan lil alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
Ø Nilai Sejarah
Di lihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sebagai penyebar agama islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah islam dan berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari
Ø Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten merupakan percampuran antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha, dan islam. Dimana kebudayaan jawa sangat gemar sekali menyelipkan makna tersirat dalam bentuk symbol atau lambang pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah yang menjadi inspirasi para wali dalam mengemas ajaran islam dalam budaya jawa, hindu dan budha yang terangkai dalam upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada yang disebut gunungan yang mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia akan dirinya, nginang memiliki makna dapat membuat awet muda, dan telur merah sebagai lambang dari kehidupan.
Kesimpulan
Sejarah perayaan sekaten tidak terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan Walisanga. Masjid inilah yang dijadikan sebagai tempat perayaan lahirnya Nabi Muhammad. Penggunaan nama sekaten syarat makna dan nilai. Kata sekaten diambil dari kata syahadat yang merupakan syarat keislaman seseorang. Di jawa kata syahadatain ini lebih mudah diucap dengan kata sekaten.
Prosesi ritual sekaten diawali dengan adanya selametan dan dilengkapi dengan dibukanya pasar malam. Sebelum puncak acara, dilakukan pemindahan gamelan dari keraton untuk di bawa ke pagongan utara dan selatan. Rangkaian upacara selanjutnya adalah numplak wajik yang diiringi gejok lesung. Kemudian dilaksanakannya acara miyos dalem( Pembacaan riwayat Nabi Muhammad) di Masjid Agung. Prosesi terakhir dalam sekaten yaitu grebeg maulud yang merupakan puncak acara dan ditandai dengan dikeluarkannya gunungan yang akan diperebutkan masyarakat.
Sekaten bukan lah upacara adat biasa, akan tetapi sekaten memiliki nilai dan makna yang tersirat dalam setiap prosesi ritualnya. Seperti adanya nilai religi, sejarah, dan budaya. Dan hal itu akan tampak jika kita benar-benar mau mengkajinya lebih dalam.
Sebagai masyarakat jawa yang terkenal dengan adat ketimuran dan selalu menjaga amanah dari para leluhurnya agar senantiasa melestarikan upacara adat yang diprakarsai oleh para leluhur seperti upacara sekaten yang penuh misi sebagai sarana dakwah islam. Tidak ada salahnya jika sekaten yang dari masa ke masa selalu mengalami perubahan dan kemajuan, karena mengingat adanya perkembangan zaman. Akan tetapi tidak seharusnya hal itu mengurangi pokok-pokok dan nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi sampai merubah tujuan awal dari sekaten itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar